*cup
Bibir hitamnya yang pekat pagi ini menyentuh manis di dahiku. Pagi yang sempurna, ketika aku terjaga, ku toleh muka, ia ada, memeluk ku hangat. Kecupannya itu, membuatku melayang lagi pagi ini. Ku balas peluk erat, hingga kami kembali beradu mesra.
Lelaki itu bangkit, saat aduan tu usai. Lama ku perhatikan, badannya yang kekar berotot, kini duduk bersandar. Tetap seperti saat aku terjaga karena kecupannya, kini ia membuaiku dengan belaian hangat di rambutku.
“Sudah terik sepertinya diluar, baiknya kamu pulang, tak enak kalau dicari sama orang rumah”
Ku raba bantal, berusaha meraih handphone. Aku terkejut, ini bukan terik lagi, tapi memang sudah panas menyengat diluar, jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Ah, rasanya waktu berdua dengan lelaki ini sudah terlalu lama.
“Iya benar, antarkan aku sampai depan, aku lupa jalan” Pintaku manja.
Tepat dipenghujung jalan, kami berpisah. Kembali ia bersikap manis, melepaskan helm yang ku kenakan, dan mengecup dahi.
“hati-hati ya mut”
Aku hanya membalas dengan senyum manis merekah.
***
- Sayang, maaf semalam aku tak ada kabar, sms mu tak ku tanggapi, aku sibuk dikos teman, mengerjakan tugas
Pesan singkat ini ku kirim cepat kepada kekasihku setiba ku dirumah, kiriman ini sedikit berbohong, aku rasa terlalu berbohong.
- Ah, kamu selalu begitu, aku kan khuatir disini. Oke, hari ini mau kemana, jangan telat makan ya, ingat penyakitmu.
Balasan ini membuatku terenyuh. Ah, kenapa ia masih saja baik padaku, sementara aku disini tidak pantas untuk dijadikan kekasih. Dia khuatir, dan aku berbahagia diatas kekhuatirannya. Aku pun mengakui, aku mencintai lelaki yang kini menjadi kekasihku, tapi aku tak pernah merasa bahagia sepenuh hati. Rasa bahagia itu ku dapati, hanya ketika aku berdua saja bersama lelaki malam tadi.
***
“kejadian lagi, aku mendengar cerita yang sama, Sella..” Ucap teman baikku, Ratih, yang kini kujadikan seperti diary.
Aku merasa nyaman bercerita padanya, karena ku yakin ia mampu menjaga semua cerita manis dan pahit hidupku.
“ya dan sekali lagi, aku cuma bisa menjadi pendengar dan pembicara, meski semua omonganku tak ada yang kamu jalani”
“Maaf..” Aku tak punya kata lain selain ini, ketika Ratih sudah berkoar-koar dengan ceramahnya.
“Kenapa sih, kamu masih mempertahankan, Deni, cinta mu diseberang sana. Sementara kamu sudah punya dan dekat sama lelaki kriteriamu, yang mampu membuaimu hingga pagi buta, dan mampu membuatmu melayang sepanjang hari karena sikapnya?” Tanya Ratih penuh amarah.
“Ya, dan aku tak pernah tau, harus jawab apa ketika pertanyaan itu terlintas dikepalaku. Aku sama seperti kamu, bertanya hal yang sama. Aku ingin memiliki Wisnu, lelaki yang ku temui malam tadi, tapi aku masih mencintai Deni, Deni pria yang telah ku kenal lama, yang suatu saat ku yakini jadi pria pertama meminangku,”
“Sudah yakin sama Deni, tapi kamu masih mengagumi pria lain, ah..aku bingung sama jalan fikiran ‘kasih dan sayang’ dimatamu seperti apa!”
Ratih pergi berlalu, meninggalkanku, sendiri. Aku tak berani memanggilnya, karena aku tau, aku telah membuatnya kembali kesal. Dia sepertinya telah bosan, mendengar cerita yang sama setiap minggunya. Saat aku sedang asik bersama lamunan, handphone bergetar disaku celana, dua kali.
(pesan pertama)
- Hei, imut, kamu dimana?temani aku cari bahan untuk mendaki besok.
(pesan kedua)
- Sayang, hari ini aku kerja seharian, jadi jgn heran y klo aku gak ada kabar. Love u, sella sayang.
“hhhaah..” Membaca dua pesan ini, membuatku menghela nafas panjang. Disaat aku bingung memilih, mereka datang serempak.
*plung
Batu digenggamanku ku lempar keras ke tepi danau, yang sedaritadi tertawa terbahak-bahak melihat kebingunganku.
“Ya..untuk kesekian kali, aku berdiri disini, memandang beningnya danau, dengan pertanyaan yang tak pernah bisa ku jawab”
Aku pergi berlalu, meraih tas selempangku. Berjalan pelan, dan tertunduk lesu.
***
Cinta itu punya arti tersendiri dihati.
Tapi jangan salah mengartikan cinta.
***
Yogyakarta, disebuah cinta yang bersemi, maret.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar