Selasa, 20 Maret 2012

Ayah’ku itu Gila !

*plak

Terdengar nyaring sekali, sebuah tamparan yang sepertinya mendarat di pipi mulus ibu’ku. Kejadian malam ini, sering sekali terjadi terutama ketika malam berganti menjadi dini hari. Tak segan, Ayah melakukannya saat aku masih terjaga, di hadapanku pernah ia menyiksa ibu.

Sakit hati ini, rasanya ingin ku tampar balik di muka Ayah, tapi aku tak tega. Bagaimana pun ia Ayahku, aku durhaka jika melawannya. Seperti malam-malam biasanya, aku dari kamar, hanya bisa mendengar pekiknya tamparan itu, dan tangis ibu yang sudah tersedu-sedu.

Jika Ayah sudah puas melakukannya dan beranjak pergi dari ruang tamu, aku berusaha berlari pelan, mendekati Ibu dan memeluknya. Aku kasihan, aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku tau derita ibu ini sangat lah perih, seperti luka yang menganga, ditaburi garam.

“nak, kamu kenapa belum tidur?” Ibu bertanya dengan suara parau dan tersedak-sedak

“ah..bagaimana aku bisa tidur, jika ini menjadi rutinitas setiap malam bu, kenapa sih ibu tak melawan saja !”

“nak, ini bukan urusan’mu, sekali lagi ibu tegaskan, ibu tak punya tenaga untuk bisa melawan sakit ini” Ungkap ibu sembari ku bopong menuju kamarku.

Ku baringkan badannya, ku selimuti tubuhnya.

“bu, tidur ya..”

“iya nak, kamu juga”

Ku kecup kening Ibu, dan ku ucapkan selamat malam.

Kini posisi kami berdua saling berhadapan, mata ibu sudah terpejam, sementara aku belum sanggup. Ku pegang erat tanganya, damai, ah aku selalu suka tidur berdua dengan Ibu. Seperti mengenang masa kecil’ku, tidur berdua, bercerita bersama. Tapi kini yang ku hadapi hanya cerita lain, yang endingnya menyakitkan.

*****
“tangkaaap naak !”

Teriak Ayah saat melempar bola kuning itu, di taman tempat kita berpiknik bersama.

“hahaha, gak bisa yaaah, lemparnya jangan jauh-jauh !”

“ayo sini, Ibu sudah selesai menyiapkan hidangannya, makan dulu Yah” Pinta Ibu sambil merapikan karpet kecil yang terlipat karena angin yang bertiup.

Piknik, menjadi aktifitas rutin yang menyenangkan di waktu libur. Ayah dan Ibu selalu memberikan waktu libur untuk keluarga kami. Pergi keluar kota, mencari udara segar, itu yang aku suka.

Sayangnya, itu ceritaku 15 tahun yang lalu, saat usiaku masih 6 tahun, dan kini aku sudah beranjak dewasa. Saat ini cerita indah itu berubah jadi cerita menakutkan dalam hidupku. Aku selalu tak pernah menyangka, dulu punya kenangan indah bersama ia yang kini menjadi seperti penjahat.

Ayah, menjadi sosok yang Gila, gila karena perempuan, dan gila karena harta. Ntah setan apa yang kini menghinggapinya, tepatnya sejak ia memiliki jabatan di gedung megah dipusat kota itu. Setiap hari omongannya kalau bukan saham, ya uang, selalu begitu.

Dua tahun terakhir, Ayah sering pulang malam, aroma parfum perempuan selalu tercium dari kemejanya. Bahkan, saat aku mencuci pakaiannya, ku temui bekas merah berbentuk bibir. Ah ya Tuhan, cobaan apa ini, kisahku seperti sinetron.

Hal yang paling menyakitkan ketika tak sengaja ku temui Ayah di sebuah mall di kotaku, sedang mengandeng mesra wanita berpakaian seksi. Kala itu aku malu sekali, teman-teman yang bersamaku banyak yang pura-pura tak melihat, meski aku yakin mereka juga menyaksikan Ayahku.

“Sabar ya Mel” Ucap Dara, menghampiriku saat berlari menuju toilet, ia teman terbaik ku diantara teman-teman gank lainnya dan hanya dengannya aku bisa bercerita.

“aku sudah terlalu sabar, rasanya hari ini aku ingin sekali menghunuskan pisau di raganya”

“hussht, gak boleh ngomong gitu, dia tetap Ayahmu” Dara mencoba menenangkanku, ia memelukku erat.

****
Pagi ini ku lihat Ibu sudah kembali tersenyum, seperti tak terjadi apa-apa malam tadi. Seperti pagi yang indah, ia menyiapkan sarapan untukku, hanya untukku. Sarapan Ayah tak pernah dibuatkannya lagi, apalagi sejak Ayah selalu pulang siang hari, kalaupun pulang pagi, Ayah pasti langsung pergi menuju kamar untuk melanjutkan tidurnya. Ku harap ia tidur panjang, tapi sayang, harapan itu tak pernah terwujud.

Aku benar-benar muak, ini harus segera diakhiri. Senyum Ibu harus awet setiap jamnya, bukan hanya saat sarapan pagi saja. Ku manfaatkan saat Ayah tertidur, untuk ku cari data-data pendukungku, apa saja yang penting membuktikan ia selingkuh dan ia harus segera pergi dari hidup ibu.

Ibu pernah bilang, ibu ingin menceraikan ayah, tapi ibu selalu bingung bagaimana caranya. Siang ini aku harus melakukan dan hanya aku yang bisa membantu ibu. Ku dapati beberapa data di laptopnya berupa foto mesra Ayah dengan wanita seksi yang membuatku sesaat sakit. Kalau ibu lihat ini, bisa jadi ibu akan jatuh pingsan ditempat.

“Bu, aku pergi sebentar ya, ada yang mau ku urus, ibu baik-baik ya dirumah” Ucapku sambil ngeloyor pergi dengan tangan mencoba menyembunyikan berkas-berkas penting itu.

“Eh…mau kemana, diluar panas, pake jaketnya!” Ibu berusaha teriak, tapi itu terlambat, motorku sudah ku pacu kencang melewati mobil merah ayah.

Iseng-iseng, tanganku yang sedaritadi menggengam silet, ku ayunkan pelan di body mobil Ayah.

*nyiitt*

Terdengar benturan silet menggores mulusnya mobil mewah itu.

“bodo amaat, ini mobil hasil gak bener juga” Gumamku dalam hati sambil tertawa puas.

****

“Beneran jadi, kamu bantu ibu’mu mengurus ini semua, apa dia tau?” Tanya Dara penuh rasa penasaran sembari memasuki ruangan di gedung berwarna hijau itu.

“Jelas jadi, aku sudah tak tahan hidup dihantui kekesalan terhadapnya” Tegasku pada Dara.

Selang beberapa menit, aku dipertemukan dengan pihak yang bisa membantuku. Bapak itu setuju saat ku ceritakan kisah sebenarnya, antara Ibu dan Ayahku. Hanya saja, urusan ini terbilang ribet terlebih pihak yang mengajukan perceraian adalah anak, bukan yang bersangkutan. Tapi, aku terus meyakinkan Bapak itu, agar ini bisa diperlancar.

Sudah sehari urusan ini ku kerjakan, dan bersyukur semuanya lancar. Tinggal aku meminta Ibu untuk menandatangani’nya, baru ku paksa Lelaki itu untuk mendatangani dan enyah dari rumah damai kami.

“maaf bu, kalau aku lancang membuatnya, tapi aku yakin, ini yang ibu mau selama ini, aku tau bu belum punya daya untuk melakukannya, dan ku pastikan hari ini kita bebas dari lelaki jahat itu bu” Tegasku meyakinkan hal terbaik untuk kami berdua.

“terima kasih nak, tapi ibu tak yakin ayahmu mau menandatangani’nya juga”

“ah..itu gampang, dan aku yakin, dia pasti mau bu”

Aku merasa yakin, karena saat aku berusaha mencari bukti, ku temukan sebuah pesan di emailnya. Disana terbaca hasil chatingnya bersama wanita berkulit putih.

“sayang, kitakan sudah sah menjadi suami istri, kenapa kamu tak ceraikan saja istrimu, aku mau miliki’mu seutuhnya”

“hiyaaakhs” Aku mendadak ingin muntah, ternyata selama ini, sejak ayah punya jabatan, ia sudah menikahi wanita lain, dengan cara nikah siri.

****

“om, siang ini bisa datang kerumah?ibu dan aku minta tolong sesuatu” Ucapku berbicara dengan Om Andi melalui telepon, dia om kandungku, yang selalu prihatin melihat kondisi keluargaku.

“baiklah, sekarang om juga sudah senggang”

Sembari menunggu Om Andi datang, aku membantu ibu mengemas semua baju yang Ayah punya. Beruntung, saat itu Ayah belum pulang dari bersenang-senang. Setibanya Om Andi dirumah, aku segera menceritakan apa yang ingin kulakukan hingga meminta bantuannya. Sementara Ibu sudah tak dapat berkata apa-apa, daritadi Ibu hanya tertunduk sedih. Persis diruang tamu, kami duduk berkeliling menanti Lelaki yang hari ini akan pergi dari sini.

“lho ada acara apa disini, kok ada kamu Ndi” Tanya Ayah datang dengan bawa setumpuk koper, ah..lagi-lagi ia bawa koper uang itu.

“sini kamu!” Bentak Om Andi, berjalan cepat dan mengepalkan tangan.

Dengan segera ku hampiri, untuk melerai. Hari ini aku tak ingin ada kekerasan dirumah ini, cukup ku lihat kekerasan Ayah terhadap Ibu saja, jangan lagi tertular pada Om Andi.

“lho lhooo..ada apa ini!saya baru pulang kerja, ini bawa uang banyak, kenapa malah mau dihajar” Ucap Ayah terkejut.

“hah, uang’mu itu sudah tak berarti apa-apa, mana pernah kau beri dan bagi sedikitpun untuk keluarga kecilmu ini!” Om Andi kembali bersuara.

Sebelum semua menjadi ricuh, aku segera mengeluarkan surat perceraian yang daritadi ku letakan rapi diatas meja.

“ini, TOLONG Ayah tandatangani, SEKARANG juga!” Bentakku memaksa, Ya Tuhan…maaf, untuk kali ini saja, aku membentak Ayahku.

“ohh..sekarang kamu sudah berani melawan Ayah ya, surat apa ini (sejenak membaca) sejak kapan surat ini harus ada, jadi selama ini kamu mau cerai dari saya (melirik Ibu), apa-apaan ini”

Hampir saja, lengan Ayah yang besar menampar Ibu lagi, tapi untung ada Om Andi yang segera menangkapnya.

“CUKUP !aku muak lihat Ayah seperti ini, Ibu sudah seharusnya pergi dari hidup Ayah, dan Ayah sudah seharusnyaaa segera pergi dari hidup Ibu, dan SANA tinggal saja sama RINA, wanita yang sudah Ayah nikahi !!” Teriakku, ah..puasnya, semua ku luapkan.

“oo KAMU lancang sekali !sejak kapan kamu tau masalah Ayah, berani-beraninya mengutak-atik data Ayah,”

“oke, baiklah (diambilnya pena diatas meja) akan ku tandatangani ini, aku juga sudah MUAK, melihat tingkah Ibu’mu ini, yang sudah tak bisa memberi kepuasan untukku, (menandatangani) nih makan ini surat”

“bukan itu saja, ini semua barang Ayah, pergi dari sini, segera!” Pintaku dengan nada keras.

Ayah mencoba menamparku

“tampar, silahkan tampar aku !jika itu belum membuat Ayah puas”

Ayah mengurungkan niatnya, dan mengambil koper yang ada. Kemudian, menit itu juga ia hilang dari hadapan kami, dibalik pintu ruang tamu, terdengar suara keras. “bruk” Ayah membanting pintu mobilnya.

Saat itu juga, aku memeluk erat Ibuku. Kami berdua menangis bersama, aku tahu air mata Ibu adalah air mata kesedihan, sementara aku luap kesenangan. Akhirnya, aku bisa lihat keluarga’ku tanpa ia, Ayah’ku yang GILA!

“maafkan aku bu, tapi aku janji, aku akan bersama Ibu selamanya, kita akan kuat tanpa ia bu,” Bisikku pelan, menyemangatinya.

** END **

Perempuan akan menjadi kuat, jika ia di posisi yang benar.

Aghil

Palangkaraya, 17 Februari 2012

Aku Khawatir, dan Kamu Tak Peduli

Ketak-ketik, mencoba merangkai kata yang pas untuk meminta maaf. Tangan keringatan, hati deg-deg’an gak keruan. Kenapa minta maaf itu susahnya seperti pencuri yang mengaku habis melakukan aksi. Rangkaian kata ini semakin semrawut, ketika kesalahan yang dibuat ini sudah tertanam dalam diingatan orang itu.

“ah..susah banget sih” Geramku dalam hati.

- Jingga, aku minta maaf.

Send to: Jingga

Ku tunggu beberapa menit, dan benar kan dugaanku tadi, permohonan maafku ini akan sia-sia. Rangkaian kata itu hanya terlintas sesaat di layar handphone Jingga. Dalam bayangan diatas kepalaku, Jingga sedang marah besar. Ku coba untuk menghubunginya, tak jua ada tanggapan dari seberang sana.

“ah..derita, punya masalah sekecil ini, dibuat jadi besar.” Gerutuku sengit, meremas handphone yang daritadi sudah penuh air keringat.

Sembari menunggu balasan, aku berusaha mengingat, kejadian aneh yang buat aku jadi sengsara siang ini. Sepertinya tadi aku hanya berkata melalui jaringan telepon

“Jingg, aku lagi nikmati sore dipinggir kota, besok kalo kamu disini, aku ajak deh”

“Masa sih?”

“Lho kok tanggapannya datar?”

“Kamu tau, aku lagi merindu, dengan kota yang kau pijak sekarang” (ditutupnya telepon)

Suaranya yang datar, terngiang jelas, aku salah bicara. Bodohnya !

Sekarang sudah hitungan jam, permintaan maafku tak ada balasan. Hening, dan aku mencoba melupakan. Iseng mengoprek dunia maya, hingga aku membuka situs favourite ku, facebook. Aku dan Jingga juga berteman di situs ini. Mataku melotot lebar, ketika ku temui di beranda facebook, Jingga sedang genit bercanda bersama temannya.

Ku coba melihat seksama, dengan membuka profil facebooknya. Dan bagus sekali, aku menemukan hal yang bikin mata ini benar-benar menjadi melotot, tangan mengepal keras. Jingga, ku lihat kamu lebih dari sekedar genit, kamu bahkan tertawa lepas, bersama pria disebuah status. Lihat, kamu bahkan seperti tak mengetahui, aku disini khuatir, aku bahkan bingung sebingungnya mencari kata-kata hanya untuk meminta maaf. Maaf dari kesalahan yang sepele.

Cukup sudah, sepertinya aku tak pantas mengkhuatirkan nya, karena Jingga telah bahagia. Meski aku disini merasa kesal, dan aku akan melakukan aksi “tutup mulut” ketika Jingga datang memberi salam kelak. Aku bukan satu-satunya pria, yang kagum akan tingkah dan sifat Jingga, ternyata masih banyak pria lain.

***

Hargailah sebuah permintaan maaf,

karena kamu akan merasa “maaf” itu menyusahkan.

**

Yogyakarta, dalam sebuah usaha, maret.

-Hari Kematian, Setahun yang Lalu-

Aku ingat, dua tahun yang lalu.

Saat raga'mu masih menapak di alam ini.

Kau masih bergulat dengan nafsu yang memburu.

Tak pernah terpuaskan, apa yang kau jalani.

Dan aku ingat, dua tahun yang lalu.

Disaat itu, kita masih bercumbu.

Kita bercinta, di romantisme yang salah.

Kemudian, aku ingat setahun yang lalu.

Berita duka, terdengar, menghentak jantungku.

Ya..itu tentang kamu,

Kamu yang kini telah pergi bersama heningnya waktu.

Sementara aku jauh dari pusara'mu.

Terbentang luasnya laut biru, aku tak dapat berkutik.

Aku lemah, kau dipanggil yang Kuasa ..

Setahun yang lalu, saat paling sesakkan dada.

Aku dengar, dan aku tak dapat berbuat.

Kau pergi dan aku disini.

Setahun berlalu..

Ku kirim do'a berbalut rindu.

Semoga, tiap iringan do'aku, sejukkan kau disana.

Memberi sedikit kehangatan, dari tiap pelukan do'a.

Ku tarikan jari jemari merangkai bait puisi, hanya untuk'mu.

Semoga menjadi penghibur dari sepi yang kau dera.

Tempat manakah, yang bisa menjaga roh dari ragamu disana.

Kenikmatan atau kesengsaraan.

Aku ingat, saat kau bawa aku pada nikmatnya surga dunia.

Apa disana masih bisa kau rasa, nikmat yang sama.

Kau pasti bertemu malaikat, yang mempertanyakan kehidupanmu.

Apa yang kau jawab, abang..

Kehilangan'mu, seperti kemarau yang tak pernah dihiasi air setetespun.

Terlalu naif, jika aku bilang aku kuat tanpamu.

Ya..sudah setahun lamanya.

Ragamu tak dapat kembali ku peluk.

Saat kematian itu datang padamu.

Aku tahu, kau sudah tak dapat lagi diberi kesempatan untuk mengatakan "jangan sekarang"

Aku pun semakin tahu, buku harian'mu terbawa bersama detik itu juga.

Tak dapat lagi ditarik, tak dapat lagi termaafkan.

Kau memang pernah memberikan cinta yang setia.

Maka, untuk kali ini beri aku waktu untuk cinta yang sama setianya.

Seperti ranting yang setia menunggu daun kembali bersemi.

Tapi, untuk'ku setia yang hanya bisa diucapkan, setia yang tak pernah bisa dituangkan.

Setia itu hanya pada kenangan.

Cukup dengan kamu ada dalam kenangan,

dan aku setia tanpa menghapus sedikitpun.

Ku titip salam perpisahan nan panjang, saat air mata ini terjatuh.

Ku titip rindu yang tak dapat diobati, saat syair ini ku baca kembali.

Sama seperti satu tahun lalu, Selamat Jalan Abang.

Lelaki hebat yang pernah kuat bertahan.

Bergelut dengan surga dunia bersama.

Aku mau, kau nikmati lagi surga, yang lebih nyata.

Kau Lelaki penghangat,

Karena jemarimu memberi ketenangan untukku.

Sampai bertemu lagi, kelak, saat aku juga bersama disana, dengan waktu yang masih rahasia.

Bersabarlah..

Aku masih setia disini, mengirimi'mu indahnya lantunan do'a.

Dan untuk hari ini, biarkan aku mengenang'mu sepanjang hari.

Meski mereka tak pernah mengijinkan itu.

Kata mereka, mati ya mati.

Tapi, bagiku mati itu masih ada dihati, bersama kenangan indah.

Jadi, jangan larang aku, untuk setia, pada lelaki penghangatku,

pada lelaki yang ku tunjuk itu kamu, abang.

-----------

Februari yang telah mati,

Berjudul "cinta kematian"

Valentine is dead.

Aghil, Yogyakarta, kenangan 5 februari.