Minggu, 24 Juni 2012

Semut Hitam dan Semut Merah (Sebuah Pertemanan Baru)


Pagi yang sibuk, puluhan ekor semut hitam sudah berjajar rapi. Pagi hari adalah awal yang indah untuk mereka bekerja. Deni, salah seekor anak semut yang masih belum mampu untuk membantu orang tuanya mengangkut makanan. Dia pagi ini hanya duduk menikmati hangatnya mentari, bersama segenggam roti disamping badannya. Satu gigitan belum membekas di roti itu. Deni memperhatikan sebuah pergerakan di balik rumput-rumput kecil, bergoyang tak beraturan.

“Ada apa sih disana?” Gumam Deni.

Sebelum sempat kaki mungilnya beranjak mendekati, sudah tampak seekor semut merah didepannya. Deni terkejut, karena dia mengira rumput bergoyang karena ada cacing. Akhirnya Deni kembali duduk ditempat semula, dia mulai menggigit kecil roti yang kini sudah mengeras. Saat Deni menikmati sarapan, tanpa sadar semut merah itu memperhatikan kenikmatan dari setiap tegukan di mulut Deni.

“Sepertinya enak?” Tanya Semut merah.
“Jelas dong” Jawab Deni, dia tak mengerti bahwa ternyata Semut merah ingin mencicipi.
“Sepertinya nikmat” Semut merah tetap menggoda, ia berharap Deni mengerti.
“Jelas dong !”
“Hei, daritadi aku bertanya, itu artinya aku ingin mencicipi,” Gertak semut merah.

Deni tak menghiraukan, dia masih asik mengigiti roti hingga pada gigitan terakhir. Semut merah geram, akhirnya dia pergi berlalu. Semut merah itu menghilang kembali dibalik rumput-rumput kecil, dan saat itu juga Deni tertawa puas. Deni berhasil menggoda semut merah itu, yang ia ketahui namanya Martin.

Martin adalah seekor semut merah, yang selalu mencoba menjadi teman baru Deni. Tapi, sayang, Deni adalah seekor semut hitam yang hanya mau berteman dengan semut hitam saja. Sama seperti dirinya. Kejadian seperti pagi ini tidak hanya terjadi sekali saja. Pernah, suatu sore saat Deni pulang dari menemani ibunya mencari sepotong makanan. Martin melihat dibalik batu kerikil, dia terlihat ingin sekali bergabung, sekedar bertanya “apa ada makanan yang bisa dibagi padaku?”. Martin memantapkan kakinya, mendekati Deni.

Yah, ntah karena warna yang berbeda. Deni pasti akan merasa dirinya hebat, karena menjadi semut yang selalu mendapat makanan. Deni memandang Martin, seekor semut merah yang tak pernah bisa mendapatkan seperti yang Deni dapatkan. Karena, yang Deni tahu, Semut merah itu jahat. Manusia pasti selalu membencinya, dan itulah penghalang terbesar bagi Martin saat mencari makanan.
Martin mendekati Deni yang tengah sibuk menata manisan.

“Boleh aku minta secuil cemilan manis itu?” Tanya Martin lembut.
“Tidak !” Jawab Deni tegas dan keras.
“Kenapa?” Martin masih berkata lembut.
“Karena kamu adalah hewan yang pantasnya ditakuti, ini cemilanku, ini hasil kerja kerasku !” Jawab Deni sambil pergi berlalu.

Martin terdiam, dia teramat sakit mendengar perkataan Deni. Martin sebenarnya sadar, kalau dirinya memang hanya pantas ditakuti, apalagi oleh manusia. Tapi, Martin tahu, kalau sesama mahkluk Tuhan tidak boleh ada hinaan, dan Martin telah merasa dihina oleh Deni. Bahkan, Martin telah mencoba dengan berkata lembut, Deni membalasnya dengan nada keras. Kemarahan dan rasa kecewa yang dialami martin menyambut senja nan cantik, diujung sawah yang membentang.
*****

Pagi ini tampak cerah, pancaran mentari menyibak disela-sela rerumputan. Begitupun dirumah Deni, seekor semut hitam. Pagi ini, Deni dibangunkan oleh kedua orangtuanya. Dia hari ini sudah diharuskan membantu mencari makanan bersama semut hitam lainnya. Pagi ini disambut Deni dengan bantahan keras.

“Tidak mau !Aku belum mau mencari makan sendiri !” Teriak Deni sembari melempar potongan sarapan nya.
“Hei, kamu tidak boleh membantah !” Ucap Ibu Deni

Deni, beranjak, langkahnya gontai. Ia kini ikut berjejer rapi dibelakang teman-temannya, yang hari ini juga menjadi hari pertama mencari makanan. Muka Deni ditekuk seribu, dalam hatinya menggerutu. Sudah setengah perjalanan, jantungnya mendadak berdetak kencang. Deni melihat dunia luar, banyak sekali bahaya yang mengintainya. Terlebih, Deni melihat besarnya ukuran tangan dan kaki manusia. Jejeran semut ini melewatinya, ada Deni disana.

Deni ingin sekali berbalik arah, tak ingin melanjutkan perjalanan. Dan, pada akhirnya, semua semut hitam diharuskan berpisah dipertengahan jalan. Semua diperintah mencari makanan sendiri, tapi tetap harus memberitahukan dimana sumber makanan yang ditemui. Inilah saat dimana jantung Deni seperti berhenti, dirinya tak pernah menduga harus mengerjakan hal itu.

“Haiiisshh…” Sepanjang jalan Deni menggerutu dalam hati.

Matanya terlihat begitu tajam, seperti elang. Bukan karena memperhatikan makanan, tapi dia lebih takut pada manusia, atau hewan lainnya. Sesekali ia bertemu dengan semut hitam, berpapasan, dan kemudian ia sendiri lagi.
*****

Tampak dari tempat ia berdiri, ada tumpukan butiran roti coklat. Butiran-butiran roti ini menggiurkan, tanpa sengaja air liurnya berbunyi tertelan dalam tenggorokannya.
*glek
“Ah..akhirnya, aku menemukan makanan, tapi…”

Belum sempat ia melangkah, dilihatnya beberapa semut hitam yang sedang berlarian. Dia heran, tapi mendadak terkejut. Karena, mereka yang berlari itu sedang menghindari tangan manusia, yang mencoba mematikan mereka. Deni terdiam, tapi ia tetap penasaran. Langkahnya lebih cepat dari saat ia memulai perjalanan. Deni berlari kecil, tetap ngotot mendekati butiran roti, karena saat itu ia tengah lapar sekali. Tak peduli, tangan manusia yang dengan siap membunuhnya.

“Akhirnyaaa….aku bisa dapat makanan” Ucap Deni, semut hitam girang.

Dibawanya butiran roti kecil dengan langkah gembira. Hingga ia lupa, tangan manusia masih bergerilya membunuh semut-semut hitam. Deni terkejut, saat ia menemukan sentilan kuat pada roti yang dibawanya. Manusia berhasil melihat dirinya membawa roti kecil itu. Deni masih berusaha mengambil kembali roti yang ditemukannya tadi.

Tanpa diduga, saat Deni mencoba meraih roti itu, tangan manusia mendekati badannya.
“Tidaaakk…!” Teriak Deni

Deni saat itu sudah pasrah, dirinya akan mati disini, saat pertama mencari makan dan harus mati oleh tangan manusia. Dari kejauhan Martin berlari kencang, sangat teramat kencang mendekati Deni yang sudah ketakutan.
*cekit
Martin mengigit tangan manusia.
“Ouuu! Tanganku digigit semut, aaah..sakit” Teriak manusia.

Deni terpana, diam, tak dapat bicara. Nafas Martin ngos-ngos’an, larinya tadi membuat nafas Martin tak beraturan. Manusia beranjak pergi, meninggalkan meja yang bertaburan roti. Kini, hanya ada Deni yang terdiam, dan Martin yang ikut terdiam.

“Terima kasih Martin, kamu menyelamatkan nyawaku” Ucap Deni dengan nada pelan.
“Maaf, bisa diulang, tadi kamu bilang apa?” Tanya Martin, seekor semut merah yang mencoba menggoda Deni, seekor semut hitam.
“Ya !Aku ucapkan terima kasih, karena kamu menyelamatkan nyawaku. Hampir saja aku mati ditangan manusia. Maafkan aku selama ini, yang telah mengejekmu tidak berguna. Ternyata, kamu punya senjata yang memang bisa dibanggakan. Pantas untuk ditakuti oleh manusia, terutama manusia yang tak bersahabat dengan kita, hewan kecil” Ucap Deni dengan muka tersipu malu.
****
Aku, ingin menjadi seperti semut merah.
Kecil, berani, dan punya hal yang dibanggakan.
**
Yogyakarta, Juni.
Gilang Rahmawati