Pagi
yang sibuk, puluhan ekor semut hitam sudah berjajar rapi. Pagi hari adalah awal
yang indah untuk mereka bekerja. Deni, salah seekor anak semut yang masih belum
mampu untuk membantu orang tuanya mengangkut makanan. Dia pagi ini hanya duduk
menikmati hangatnya mentari, bersama segenggam roti disamping badannya. Satu
gigitan belum membekas di roti itu. Deni memperhatikan sebuah pergerakan di
balik rumput-rumput kecil, bergoyang tak beraturan.
“Ada apa
sih disana?” Gumam Deni.
Sebelum
sempat kaki mungilnya beranjak mendekati, sudah tampak seekor semut merah
didepannya. Deni terkejut, karena dia mengira rumput bergoyang karena ada
cacing. Akhirnya Deni kembali duduk ditempat semula, dia mulai menggigit kecil
roti yang kini sudah mengeras. Saat Deni menikmati sarapan, tanpa sadar semut
merah itu memperhatikan kenikmatan dari setiap tegukan di mulut Deni.
“Sepertinya
enak?” Tanya Semut merah.
“Jelas
dong” Jawab Deni, dia tak mengerti bahwa ternyata Semut merah ingin mencicipi.
“Sepertinya
nikmat” Semut merah tetap menggoda, ia berharap Deni mengerti.
“Jelas
dong !”
“Hei,
daritadi aku bertanya, itu artinya aku ingin mencicipi,” Gertak semut merah.
Deni
tak menghiraukan, dia masih asik mengigiti roti hingga pada gigitan terakhir.
Semut merah geram, akhirnya dia pergi berlalu. Semut merah itu menghilang
kembali dibalik rumput-rumput kecil, dan saat itu juga Deni tertawa puas. Deni
berhasil menggoda semut merah itu, yang ia ketahui namanya Martin.
Martin
adalah seekor semut merah, yang selalu mencoba menjadi teman baru Deni. Tapi,
sayang, Deni adalah seekor semut hitam yang hanya mau berteman dengan semut
hitam saja. Sama seperti dirinya. Kejadian seperti pagi ini tidak hanya terjadi
sekali saja. Pernah, suatu sore saat Deni pulang dari menemani ibunya mencari
sepotong makanan. Martin melihat dibalik batu kerikil, dia terlihat ingin
sekali bergabung, sekedar bertanya “apa ada makanan yang bisa dibagi padaku?”.
Martin memantapkan kakinya, mendekati Deni.
Yah,
ntah karena warna yang berbeda. Deni pasti akan merasa dirinya hebat, karena
menjadi semut yang selalu mendapat makanan. Deni memandang Martin, seekor semut
merah yang tak pernah bisa mendapatkan seperti yang Deni dapatkan. Karena, yang
Deni tahu, Semut merah itu jahat. Manusia pasti selalu membencinya, dan itulah
penghalang terbesar bagi Martin saat mencari makanan.
Martin
mendekati Deni yang tengah sibuk menata manisan.
“Boleh
aku minta secuil cemilan manis itu?” Tanya Martin lembut.
“Tidak
!” Jawab Deni tegas dan keras.
“Kenapa?”
Martin masih berkata lembut.
“Karena
kamu adalah hewan yang pantasnya ditakuti, ini cemilanku, ini hasil kerja
kerasku !” Jawab Deni sambil pergi berlalu.
Martin
terdiam, dia teramat sakit mendengar perkataan Deni. Martin sebenarnya sadar,
kalau dirinya memang hanya pantas ditakuti, apalagi oleh manusia. Tapi, Martin
tahu, kalau sesama mahkluk Tuhan tidak boleh ada hinaan, dan Martin telah
merasa dihina oleh Deni. Bahkan, Martin telah mencoba dengan berkata lembut,
Deni membalasnya dengan nada keras. Kemarahan dan rasa kecewa yang dialami
martin menyambut senja nan cantik, diujung sawah yang membentang.
*****
Pagi
ini tampak cerah, pancaran mentari menyibak disela-sela rerumputan. Begitupun
dirumah Deni, seekor semut hitam. Pagi ini, Deni dibangunkan oleh kedua
orangtuanya. Dia hari ini sudah diharuskan membantu mencari makanan bersama
semut hitam lainnya. Pagi ini disambut Deni dengan bantahan keras.
“Tidak
mau !Aku belum mau mencari makan sendiri !” Teriak Deni sembari melempar potongan
sarapan nya.
“Hei,
kamu tidak boleh membantah !” Ucap Ibu Deni
Deni,
beranjak, langkahnya gontai. Ia kini ikut berjejer rapi dibelakang
teman-temannya, yang hari ini juga menjadi hari pertama mencari makanan. Muka
Deni ditekuk seribu, dalam hatinya menggerutu. Sudah setengah perjalanan,
jantungnya mendadak berdetak kencang. Deni melihat dunia luar, banyak sekali
bahaya yang mengintainya. Terlebih, Deni melihat besarnya ukuran tangan dan
kaki manusia. Jejeran semut ini melewatinya, ada Deni disana.
Deni ingin
sekali berbalik arah, tak ingin melanjutkan perjalanan. Dan, pada akhirnya,
semua semut hitam diharuskan berpisah dipertengahan jalan. Semua diperintah
mencari makanan sendiri, tapi tetap harus memberitahukan dimana sumber makanan
yang ditemui. Inilah saat dimana jantung Deni seperti berhenti, dirinya tak
pernah menduga harus mengerjakan hal itu.
“Haiiisshh…”
Sepanjang jalan Deni menggerutu dalam hati.
Matanya
terlihat begitu tajam, seperti elang. Bukan karena memperhatikan makanan, tapi
dia lebih takut pada manusia, atau hewan lainnya. Sesekali ia bertemu dengan
semut hitam, berpapasan, dan kemudian ia sendiri lagi.
*****
Tampak
dari tempat ia berdiri, ada tumpukan butiran roti coklat. Butiran-butiran roti
ini menggiurkan, tanpa sengaja air liurnya berbunyi tertelan dalam
tenggorokannya.
*glek
“Ah..akhirnya,
aku menemukan makanan, tapi…”
Belum
sempat ia melangkah, dilihatnya beberapa semut hitam yang sedang berlarian. Dia
heran, tapi mendadak terkejut. Karena, mereka yang berlari itu sedang menghindari
tangan manusia, yang mencoba mematikan mereka. Deni terdiam, tapi ia tetap
penasaran. Langkahnya lebih cepat dari saat ia memulai perjalanan. Deni berlari
kecil, tetap ngotot mendekati butiran roti, karena saat itu ia tengah lapar
sekali. Tak peduli, tangan manusia yang dengan siap membunuhnya.
“Akhirnyaaa….aku
bisa dapat makanan” Ucap Deni, semut hitam girang.
Dibawanya
butiran roti kecil dengan langkah gembira. Hingga ia lupa, tangan manusia masih
bergerilya membunuh semut-semut hitam. Deni terkejut, saat ia menemukan
sentilan kuat pada roti yang dibawanya. Manusia berhasil melihat dirinya
membawa roti kecil itu. Deni masih berusaha mengambil kembali roti yang
ditemukannya tadi.
Tanpa
diduga, saat Deni mencoba meraih roti itu, tangan manusia mendekati badannya.
“Tidaaakk…!”
Teriak Deni
Deni
saat itu sudah pasrah, dirinya akan mati disini, saat pertama mencari makan dan
harus mati oleh tangan manusia. Dari kejauhan Martin berlari kencang, sangat
teramat kencang mendekati Deni yang sudah ketakutan.
*cekit
Martin
mengigit tangan manusia.
“Ouuu!
Tanganku digigit semut, aaah..sakit” Teriak manusia.
Deni
terpana, diam, tak dapat bicara. Nafas Martin ngos-ngos’an, larinya tadi
membuat nafas Martin tak beraturan. Manusia beranjak pergi, meninggalkan meja
yang bertaburan roti. Kini, hanya ada Deni yang terdiam, dan Martin yang ikut
terdiam.
“Terima
kasih Martin, kamu menyelamatkan nyawaku” Ucap Deni dengan nada pelan.
“Maaf,
bisa diulang, tadi kamu bilang apa?” Tanya Martin, seekor semut merah yang
mencoba menggoda Deni, seekor semut hitam.
“Ya
!Aku ucapkan terima kasih, karena kamu menyelamatkan nyawaku. Hampir saja aku
mati ditangan manusia. Maafkan aku selama ini, yang telah mengejekmu tidak
berguna. Ternyata, kamu punya senjata yang memang bisa dibanggakan. Pantas
untuk ditakuti oleh manusia, terutama manusia yang tak bersahabat dengan kita,
hewan kecil” Ucap Deni dengan muka tersipu malu.
****
Aku,
ingin menjadi seperti semut merah.
Kecil,
berani, dan punya hal yang dibanggakan.
**
Yogyakarta,
Juni.
Gilang
Rahmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar