Jumat, 27 Juli 2012

Suara Syahdu di Sebuah Mesjid




Jam istirhat telah selesai, semua murid kembali masuk ke kelas untuk menerima pelajaran. Termasuk Fathir, anak lelaki berambut klimis berbadan kecil. Dia berjalan dari kantin menuju ruang kelas. Berjalan santai, tidak seperti teman-tema lainnya, berlari-lari.
*Bruk
Seketika badannya jatuh, teman sebayanya, Andi berhasil menjatuhkannya. Dengkul Fathir memerah. Andi berlalu tanpa merasa bersalah atas apa yang dilakukannya pada Fathir, sambil tertawa puas. Sementara Fathir, ia diam menahan sakit. Ia ingat, kata ibu kalau jatuh jangan mengeluh, cukup berdiri tegak, pastikan diri baik-baik saja.
Semua sudah duduk rapi, siap menerima ilmu. Pelajaran dimulai, sudah lebih dari 20 menit guru menerangkan. Fathir selalu menyimpan beribu tanya disetiap pelajaran.
“Bu..”
“Ah iya Fathir, ada pertanyaan?”
“Huahahaha…si cempreng mau tanya, tanya teruuss,”
Belum sempat Fathir mengeluarkan pertanyaan, sudah dicela oleh Andi dari bangku belakang.
“Andi, kamu selalu seperti itu, biarkan Fathir bertanya dulu, dan kamu tidak boleh ngejek teman sendiri”
“Habis, suaranya cempreng bu, haha”
“Sudah Fathir, biarkan saja Andi..jadi, kamu tadi mau tanya apa?”
Kejadian ini selalu saja terjadi tidak hanya pelajaran pagi ini, setiap kali Fathir mengangkat tangan, Andi selalu ikut berdiri untuk mengejek suaranya. Fathir, dia anak lelaki yang duduk di bangku SMP. Sudah seharusnya suaranya berubah, karena usia ini adalah waktu untuk puber. Fathir sudah puber, tapi sayang suaranya belum menandakan perubahan.
Tidak ada yang mempermasalahkan, Ayah dan Ibu Fathir terlihat biasa saja. Mereka hanya mengkhawatirkan jika Fathir tidak mencerna pelajaran, diganggu oleh Andi. Dan Andi, adalah teman sebaya yang selalu sirik terhadap apa yang dikerjakan oleh Fathir.
****


“Jadi kamu mau pesantren aja?,” tanya Ibu diruang tamu, saat percakapan hangat menemani datangnya senja.
Fathir kini telah duduk dibangku kelas tiga, dan sudah hampir mendekati ujian sekolah. Ayah dan Ibu sudah meminta Fathir memilih, akan melanjutkan sekolah dimana. Keluarga ini mementingkan pendapat dari pihak yang bersangkutan, terlebih Ayah, ia mendidik anaknya untuk mendengarkan pendapat yang lain. Jadi, untuk kali ini Ayah dan Ibu membiarkan Fathir yang memilih.
Jika ada hal yang memang tidak pantas, barulah orangtua bertindak. Tapi, sepertinya Ayah dan Ibu setuju dengan keinginan Fathir. Hingga akhirnya, mereka sibuk mengurusi segala hal biar bisa masuk di Pesantren. Sementara Fathir, ia dikhususkan untuk konstrasi saja pada ujiannya.
****


“Alhamduliah, Ayaaahh..Ibu, Fathir Lulus !”
Fathir berteriak, berlari masuk ke dalam rumah, sambil memegang amplop putih. Raut mukanya terlihat girang. Dia hanya mendapati Ibu yang sedang memotong bawang di dapur. Dipeluknya erat badan ibu yang aroma badan sudah bercampur bumbu. Tangan Ibu mengusap kepala Fathir.
“Alhamdulilah Nak…”
Mereka hening dalam pelukan hangat.
Ayah masih sibuk membereskan pekerjaannya di kantor, biasanya pulang sore menjelang senja. Fathir tidak sabar untuk memberitahukan kebahagiaan yang dirasanya.
“Assalamualaikum,” sapa Fathir.
“Waalaikumsalam, kenapa Thir? Tumben telepon, Ayah nanti pulang sebelum magrib kok,” tanya Ayah dari seberang telepon.
“Alhamdulilah Yah, Fathir lulus, hehe,” jawab Fathir sambil cengengesan.
“Alhamdulilah Nak..selamat ya, oke tunggu Ayah pulang, nanti kita syukuran sederhana”
“Ah tidak usah Yah, cukup Ayah dan Ibu senyum Fathir sudah “syukuran”, ya sudah Ayah kerja saja, Assalamualaikum”
“Oh ya sudah, Waalaikumsalam”
Ditempat Ayah bekerja, Ayah diam, dia hening. Terlebih setelah mendengar suara Fathir, yang masih saja seperti anak-anak. Tidak ada sedikit serak yang terdengar, masih cempreng.
****


Fathir kini bersekolah di sebuah Pesantren, yang berada jauh dari kota. Suasananya hening, hanya ada hamparan sawah. Inilah yang Fathir sukai, dia bisa belajar tanpa ada gangguan orang jahil seperti Andi. Ah ya, Andi, teman SMP Fathir kini bersekolah di salah satu SMA berkelas internasional. Bukan karena kemauan Andi, melainkan orang tua. Hanya karena sebuah gengsi, akhirnya ia terdampar disekolah tersebut.
Magrib menjelang, semua santri sudah harus berkumpul di surau untuk menjalankan ibadah sholat magrib. Fathir mengambil air wudhu, dibasuhnya pelan. Dari pojok tempat berwudhu, Ustad Sholihin memperhatikan tingkah Fathir. Ia melihat ada yang spesial dari Fathir. Berwudhu saja ia tidak terburu-buru, ia mengkhayati setiap basuhan.
Hingga disuatu sore, saat semua sedang mengaji. Ustad Sholihin datang menghampiri para santri.
“Assalamualaikum Pak Ustad..,” sapa santri
“Waalaikumsalam, bagaimana ngaji kalian, sudah hafal berapa ayat?”
Serentak menjawab, “Sudah banyak Pak Ustad”
Hanya Fathir yang diam, tak member respon kecuali salam. Pak Ustad heran, dan dia pun mendekati Fathir.
“Kenapa Nak, kamu masih banyak yang belum dihafal?”
“Sudah banyak pak Ustad, tapi, saya masi belum yakin dengan cara saya mengaji,”
“Oh..ya sudah, mulai besok datangi saya ya, Pak Ustad akan mengajarimu, yang lain ada yang sama seperti Fathir”
“Tidak Pak Ustad,” Kali ini semua benar-benar serentak. Padahal Fathir tahu betul, teman-temannya juga mengalami hal yang sama. Fahtir heran dengan “keengganan” mereka untuk belajar lebih dari apa yang didapat sore ini.
****


Keesokan harinya, Fathir sudah mulai belajar giat. Dia ingin memanfaatkan suara yang tidak seberapa, menjadi sesuatu yang luar biasa. Pak Ustad bangga dengan anak ini, ada giat yang luar biasa tertanam dalam dirinya. Hingga pada akhirnya, Fathir telah dinyatakan lulus dari Pesantren. Dia telah menyerap banyak ilmu, terlebih tentang Islam.
Fathir kembali pulang, sama seperti saat dia lulus SMP dulu. Ia datang, lalu memeluk ibunya erat. Ayahnya ikut bangga melihat anak semata wayang bisa bertahan di tempat yang jauh dari orang tua.
“Hayo, sekarang kamu yang jadi imam ya Nak, Ayah mau dengar bagaimana kamu melafalkan ayat-ayat,” pinta Ayah di kala Subuh yang dingin.
“Ah Ayah, Fathir malu, kan suara Fathir cempreng”
“Ayo Nak, taka pa,” Ibu mencoba menyemangati, karena Ibu tahu Anaknya telah berubah.
“Bismillahirohmanirohim, Alhamdulilahi rabbil alamin…”
Ibu tertegun, Ayah tercengang. Mereka takjub mendengar syahdunya Fathir melantunkan setiap ayat. Suaranya membuat bulu kuduk merinding. Subuh ini menjadi hangat ketika mendengar Fathir menjadi imam.
****


Ramadhan tiba, Fathir telah menjadi dewasa. Dia telah berkeluarga, memiliki dua orang anak. Istrinya pun sholehah, mengenakan jilbab, tampak cantik dan manis. Mala mini, Fathir dipinta oleh pengurus mesjid di komplek rumahnya untuk menjadi imam. Setiba di Mesjid, tak menyangka ia berpapasan dengan Andi ditempat berwudhu.
“Hei..si cempreng, kita ketemu lagi, hahaha”
Tak berubah sedikitpun, meski sudah lama sekali dua orang ini tidak bertemu.
“Assalamualaikum Andi”
“Ya..ya, Waalaikumsalam, ya sudah nanti kita bincang-bincang lagi, saya sudah ditunggu teman-teman, kalau kamu mau gabung saja disob belakang, kami disana”
Andi berlalu pergi, dan Fathir juga ikut, tapi tidak untuk berjejer bersama Andi dibagian belakang. Karena, Fathir akan menjadi Imam pada sholat taraweh malam ini.
“Haha..ngapain si cempreng duduk didepan, gaya kali”
“Siapa dia Ndi?”
“Dia temanku waktu SMP, suaranya tidak seperti kita, yang berubah saat puber, suaranya cempreng”
“Haha..masa?”
Semua tertawa, menganggu beberapa yang sedang khusyuk sholat. Tapi, dalam hati, Andi masih bertanya-tanya tentang teman SMP nya itu. Terlebih saat ia melihat penampilan Fathir menjadi sholeh.
“Jamaah sholat isya insyaallah sholat taraweh, malam ini yang menjadi imam adalah Fathir Muhammad…”
Andi terkejut, mendapati temannya menjadi imam. Dia berfikir akan menjadi kacau sholat, jika dipimpin oleh Fathir yang suaranya menganggu.
“Bismillahirohmanirohim, Alhamdulilahi rabbil alamin…”
Imam Fathir Muhammad, memulai sholat taraweh. Mendengar merdunya suara Fathir, Andi meneguk liur. Ia terkejut bukan kepalang. Suara yang dulu dikenalnya aneh, kini menjadi luar biasa indah, terlebih saat melantunkan setiap ayat. Benar-benar mampu membuat bulu kuduknya merinding.
****


Selepas Sholat taraweh, Andi mendatangi Fathir yang sedang sibuk menandatangani tigas sekolah anak-anak. Andi menunggu dengan sabar, hingga Fathir benar-benar sendiri.
“Assalamualaikum Andi, ya ada apa?”
“Waalaikumsalam Thir, tidak ada apa-apa..”
“Oh iya, gimana perjalanan hidupmu, wah lama sekali ya kita tidak bertemu”
Belum sempat Fathir menyelesaikan omongan, Andi sudah menggenggam tangan Fathir.
“Fathir, maafkan aku, jika dulu dan tadi masih mengejek suaramu, tidak menyangka, kamu kini telah menjadi imam, subhanallah suaramu syahdu, ijinkan aku untuk belajar”
Fathir diam, dia sedikit terkejut.
“Tidak usah minta maaf, aku sudah memaafkanmu, aku menganggap cemoohan mu waktu kecil menjadi boomerangku untuk bisa memperbaikin suaraku, lho kok belajar denganku? Emang waktu kamu sekolah tidak ada?”
“Ada, tapi…aku tak pernah memperhatikan, bahkan selalu bolos saat pelajaran agama,”
“Astaga, kenapa kamu Andi?”
“Ya..terlalu asik bersama teman-teman”
“Oh..pantaslah, ya sudah besok datang saja kerumahku, yang ada warung didepannya”
Fathir tersenyum, melihat Andi yang berubah mendadak.
****

semua butuh proses
Yogyakarta, Juli.
Gilang Rahmawati

Sabtu, 21 Juli 2012

Titik Dua dan Tanda Bintang Bercerita


“Jadi ini kaya gini, ditarik, terus digambar,” ucapnya sabar, mengajariku sebuah teknik melukis.
Aku, disampingnya duduk mengangguk. Dia terlihat gagah saat menerangkan pembelajaran sore itu. Tubuhnya tegap, aku berlindung hampir saja bergelayut manja. Tapi, aku mendadak ingat, dia hanya seorang teman yang membantuku, bukan kekasihku.
“hihihi..” geliku dalam hati, saat membayangkan bagaimana jika aku bergelayut manja dipundaknya.
“hei..perhatikan!,” tegur Wisnu
“ups, ya..ya, maaf, jadi sekarang harus kaya gini ya? (sambil menunjuk pada gambar corat-coretnya, sambil salah tingkah)”
Sore itu tertutup oleh indahnya matahari terbenam. Seberkas cahaya hangat itu masuk kedalam ruang, yang terisi oleh kami berdua. Romantis, tapi sayang, dia bukan kekasihku.
“oke, cukup ya..aku lelah, *srup (diteguknya segelas jeruk hangat)”
“siaapp !makasih, akhirnya aku ngerti soal gambar garis dan bagaimana objek ditempatkan”, ucapku sembari merebahkan kepala dibangku sofa.
*allahu akbar3x
Adzan magrib berkumandang, diselingi kakinya melangkah pulang. Aku diam memperhatikan, melihat punggunya dari belakang.
“daaahh..!”
****
To: Wisnu
Pesan:
Nanti siang jadi makan bareng?

Ku coba membuka sebuah percakapan lain. Mengirimnya sebuah pesan singkat, ku rasa itu jurus jitu satu-satunya. Meski memang kami belum ada membuat janji untuk bertemu makan siang. Tapi, aku ingin menjadikan jurus jitu itu manjur. Memainkan sifat pelupanya, sebagai kunci percakapan siang nanti.
*cling
Sebuah pesan, masuk, dan ku baca itu dari Wisnu.
From: Wisnu
Pesan:
Eh kita janjian makan siang ya? Kok aku lupa, haha..maap kebiasaan. Oke boleh, ketemu langsung di Kampret Café ya J *see ya !

Desir kebahagiaan mengalir disekujur tubuh, membuatku meloncat girang. Mendadak menjadi salah tingkah, terlebih saat mendapati sebuah status yang dibuat olehnya. Tertera bahwa akan terjadi satu hal yang ditunggu-tunggu olehnya tepat nanti siang. Dan aku ingat, bahwa nanti siang kita sudah janjian untuk bertemu.
*glek
Ku telan liur, rasanya mendadak menjadi besar kepala. Kata orang ini “GR”, Gede Rasa. Salah tingkah ini kembali ku alami, terutama saat memilih baju untuk pergi. Padahal hanya makan siang biasa saja, tapi rasanya seperti ada hal yang spesial. Dan aku masih hanya menerka.
Aku siap !
****
“silahkan..”
Wisnu menarik kursi, mempersilahkan untuk aku duduk. Wah, ada hal yang berbeda lagi ku temui dari sifatnya.
“he is so romantic,” gumamku dalam hati, sambil tersipu malu.
Pelayan datang, menawarkan pesanan. Kami terdiam dalam keheningan memilih menu. Hingga sebuah kejutan datang. Dalam hitungan waktu yang berbarengan, kami sama-sama memesan menu “nasi goreng seafood ya mba !”
Pelayan restoran itu merespon dengan cekikikan geli. Ya, dan seketika dia pergi saat menu telah dipesan. Sementara, sejak kejadian tadi, kami sama-sama salah tingkah. Lebih dari 15 menit, kami diam. Sama-sama sibuk dengan handphone masing-masing.
Padahal, aku tidak sedang smsan, ataupun buka jejaring sosial. Dan aku rasa, dia juga begitu.
“Oke..gimana gambarmu, sudah komplit semua?,” Wisnu mulai membuka percakapan, dan itu membuatku sedikit terkejut.
“Aeh…eh, sudah sudah, ya tinggal dituang warna,” ucapku terbata.
Percakapan itu beranjak, dari membicarakan lukisan, hingga membicarakan keluarga. Tak terasa pelayan datang mengantar santapan. Kami diam, dalam setiap kunyahan. Hingga ludes semua termakan.
“ah kenyang..” ucap Wisnu sembari memegang perutnya, duh, terlihat buncit.
“hehe..” aku tak tahan untuk menahan tawa.
“kenapa Rin?”
“itu lho.. (menunjuk baju)”
“whaha, maaf, ya gini kalau habis makan, blendung dung, hihi”
Kami mulai encer, lebih hangat daripada saat awal menghampiri meja ini. Kini kami bisa tertawa lepas. Dan inilah yang paling membuatku suka, tak ada jarak yang menggambarkan diantar kami. Hanya tawa canda yang melingkari siang ini.
Kalau malam kemarin dia yang beranjak pamit pulang, kalau siang ini terpaksa aku. Dan ya, ini membuatku sedikit canggung. Harus membalikkan arah, dan jangan sampai menoleh kebelakang, bahaya.
****
Terhitung sudah 4 bulan, kami menjalin pertemanan. Dan beberapa minggu ini, ada gundah yang berguncang dalam hatiku. Terutama saat Wisnu memberi beberapa sinyal perhatian padaku. Malam telah datang, ini sudah bulan ke 4. Bukan karena iseng, tapi aku memang suka sekali menandain kalenderku disetiap moment yang ku anggap spesial.
Aku ingat, 4 bulan lalu, tepat tanggal 10 dibulan april. Aku pertama kali berjabat tangan denganmu, dan sepertinya sebagian kecil dari hatiku telah “love at the first sight”. Aku mencoba melihat setiap coretan di kalender. Sambil tertawa geli, terutama saat mengingat ada peristiwa-peristiwa lucu diantara kami.
Ntah kenapa, malam ini membuatku gelisah. Rasanya gumpalan rasa kagum, suka, dan jatuh cinta harus segera ku ucapkan. Mencoba menerka-nerka itu rasanya tersiksa. Ku ambil handphone, mencoba menulis sebuah pesan untuk Wisnu. Berkali-kali kata sudah ku ungkapkan, dan semuanya berhasil terhapus. Hingga pada sebuah pesan ku buat sesingkat mungkin, menggambarkan kegundahan ini.
To: Wisnu
Pesan: Aku suka kamu

“ah eeh..gak deh, gilaaaa !” gerutuku dalam hati.
Iseng-iseng, ku ubah nama kontak Wisnu menjadi “My Dear”. Senyum merekah membaca nama baru itu. Dan, aku coba mengetik lagi.

To: My Dear
Pesan:
:*
“eh eeh..gak jadi ah gak jadi, masa iya kirim cium” ucapku semakin gelisah.
Hingga pesan itu terdampar pada box “draft sms”. Dan, aku pun tertidur dengan senyum bahagia penuh tanya.
****
*grook, fiuhh
Terdengar nyaring deru nafas yang keluar dari sela mulut Wisnu. Disaat Rini sedang dilanda gelisah hingga tertidur. Wisnu terlebih dahulu bermimpi. Ia melihat ada sesosok wanita, seperti memanggil untuk berucap kata cinta. Ya sepertinya mereka hanya bisa bertemu di mimpi. Rini yang sudah tertidur bersama gelisahnya, hadir tak sengaja dalam bunga tidur Wisnu.

*****
Aku senyum atas sebuah kegelisahan
Aku tersipu untuk sebuah perasaan
Jika saja aku mampu bertanya
Pasti ku dapati jawaban yang bisa saja itu bahagia
***
Yogyakarta, Gilang Rahmawati

Minggu, 24 Juni 2012

Semut Hitam dan Semut Merah (Sebuah Pertemanan Baru)


Pagi yang sibuk, puluhan ekor semut hitam sudah berjajar rapi. Pagi hari adalah awal yang indah untuk mereka bekerja. Deni, salah seekor anak semut yang masih belum mampu untuk membantu orang tuanya mengangkut makanan. Dia pagi ini hanya duduk menikmati hangatnya mentari, bersama segenggam roti disamping badannya. Satu gigitan belum membekas di roti itu. Deni memperhatikan sebuah pergerakan di balik rumput-rumput kecil, bergoyang tak beraturan.

“Ada apa sih disana?” Gumam Deni.

Sebelum sempat kaki mungilnya beranjak mendekati, sudah tampak seekor semut merah didepannya. Deni terkejut, karena dia mengira rumput bergoyang karena ada cacing. Akhirnya Deni kembali duduk ditempat semula, dia mulai menggigit kecil roti yang kini sudah mengeras. Saat Deni menikmati sarapan, tanpa sadar semut merah itu memperhatikan kenikmatan dari setiap tegukan di mulut Deni.

“Sepertinya enak?” Tanya Semut merah.
“Jelas dong” Jawab Deni, dia tak mengerti bahwa ternyata Semut merah ingin mencicipi.
“Sepertinya nikmat” Semut merah tetap menggoda, ia berharap Deni mengerti.
“Jelas dong !”
“Hei, daritadi aku bertanya, itu artinya aku ingin mencicipi,” Gertak semut merah.

Deni tak menghiraukan, dia masih asik mengigiti roti hingga pada gigitan terakhir. Semut merah geram, akhirnya dia pergi berlalu. Semut merah itu menghilang kembali dibalik rumput-rumput kecil, dan saat itu juga Deni tertawa puas. Deni berhasil menggoda semut merah itu, yang ia ketahui namanya Martin.

Martin adalah seekor semut merah, yang selalu mencoba menjadi teman baru Deni. Tapi, sayang, Deni adalah seekor semut hitam yang hanya mau berteman dengan semut hitam saja. Sama seperti dirinya. Kejadian seperti pagi ini tidak hanya terjadi sekali saja. Pernah, suatu sore saat Deni pulang dari menemani ibunya mencari sepotong makanan. Martin melihat dibalik batu kerikil, dia terlihat ingin sekali bergabung, sekedar bertanya “apa ada makanan yang bisa dibagi padaku?”. Martin memantapkan kakinya, mendekati Deni.

Yah, ntah karena warna yang berbeda. Deni pasti akan merasa dirinya hebat, karena menjadi semut yang selalu mendapat makanan. Deni memandang Martin, seekor semut merah yang tak pernah bisa mendapatkan seperti yang Deni dapatkan. Karena, yang Deni tahu, Semut merah itu jahat. Manusia pasti selalu membencinya, dan itulah penghalang terbesar bagi Martin saat mencari makanan.
Martin mendekati Deni yang tengah sibuk menata manisan.

“Boleh aku minta secuil cemilan manis itu?” Tanya Martin lembut.
“Tidak !” Jawab Deni tegas dan keras.
“Kenapa?” Martin masih berkata lembut.
“Karena kamu adalah hewan yang pantasnya ditakuti, ini cemilanku, ini hasil kerja kerasku !” Jawab Deni sambil pergi berlalu.

Martin terdiam, dia teramat sakit mendengar perkataan Deni. Martin sebenarnya sadar, kalau dirinya memang hanya pantas ditakuti, apalagi oleh manusia. Tapi, Martin tahu, kalau sesama mahkluk Tuhan tidak boleh ada hinaan, dan Martin telah merasa dihina oleh Deni. Bahkan, Martin telah mencoba dengan berkata lembut, Deni membalasnya dengan nada keras. Kemarahan dan rasa kecewa yang dialami martin menyambut senja nan cantik, diujung sawah yang membentang.
*****

Pagi ini tampak cerah, pancaran mentari menyibak disela-sela rerumputan. Begitupun dirumah Deni, seekor semut hitam. Pagi ini, Deni dibangunkan oleh kedua orangtuanya. Dia hari ini sudah diharuskan membantu mencari makanan bersama semut hitam lainnya. Pagi ini disambut Deni dengan bantahan keras.

“Tidak mau !Aku belum mau mencari makan sendiri !” Teriak Deni sembari melempar potongan sarapan nya.
“Hei, kamu tidak boleh membantah !” Ucap Ibu Deni

Deni, beranjak, langkahnya gontai. Ia kini ikut berjejer rapi dibelakang teman-temannya, yang hari ini juga menjadi hari pertama mencari makanan. Muka Deni ditekuk seribu, dalam hatinya menggerutu. Sudah setengah perjalanan, jantungnya mendadak berdetak kencang. Deni melihat dunia luar, banyak sekali bahaya yang mengintainya. Terlebih, Deni melihat besarnya ukuran tangan dan kaki manusia. Jejeran semut ini melewatinya, ada Deni disana.

Deni ingin sekali berbalik arah, tak ingin melanjutkan perjalanan. Dan, pada akhirnya, semua semut hitam diharuskan berpisah dipertengahan jalan. Semua diperintah mencari makanan sendiri, tapi tetap harus memberitahukan dimana sumber makanan yang ditemui. Inilah saat dimana jantung Deni seperti berhenti, dirinya tak pernah menduga harus mengerjakan hal itu.

“Haiiisshh…” Sepanjang jalan Deni menggerutu dalam hati.

Matanya terlihat begitu tajam, seperti elang. Bukan karena memperhatikan makanan, tapi dia lebih takut pada manusia, atau hewan lainnya. Sesekali ia bertemu dengan semut hitam, berpapasan, dan kemudian ia sendiri lagi.
*****

Tampak dari tempat ia berdiri, ada tumpukan butiran roti coklat. Butiran-butiran roti ini menggiurkan, tanpa sengaja air liurnya berbunyi tertelan dalam tenggorokannya.
*glek
“Ah..akhirnya, aku menemukan makanan, tapi…”

Belum sempat ia melangkah, dilihatnya beberapa semut hitam yang sedang berlarian. Dia heran, tapi mendadak terkejut. Karena, mereka yang berlari itu sedang menghindari tangan manusia, yang mencoba mematikan mereka. Deni terdiam, tapi ia tetap penasaran. Langkahnya lebih cepat dari saat ia memulai perjalanan. Deni berlari kecil, tetap ngotot mendekati butiran roti, karena saat itu ia tengah lapar sekali. Tak peduli, tangan manusia yang dengan siap membunuhnya.

“Akhirnyaaa….aku bisa dapat makanan” Ucap Deni, semut hitam girang.

Dibawanya butiran roti kecil dengan langkah gembira. Hingga ia lupa, tangan manusia masih bergerilya membunuh semut-semut hitam. Deni terkejut, saat ia menemukan sentilan kuat pada roti yang dibawanya. Manusia berhasil melihat dirinya membawa roti kecil itu. Deni masih berusaha mengambil kembali roti yang ditemukannya tadi.

Tanpa diduga, saat Deni mencoba meraih roti itu, tangan manusia mendekati badannya.
“Tidaaakk…!” Teriak Deni

Deni saat itu sudah pasrah, dirinya akan mati disini, saat pertama mencari makan dan harus mati oleh tangan manusia. Dari kejauhan Martin berlari kencang, sangat teramat kencang mendekati Deni yang sudah ketakutan.
*cekit
Martin mengigit tangan manusia.
“Ouuu! Tanganku digigit semut, aaah..sakit” Teriak manusia.

Deni terpana, diam, tak dapat bicara. Nafas Martin ngos-ngos’an, larinya tadi membuat nafas Martin tak beraturan. Manusia beranjak pergi, meninggalkan meja yang bertaburan roti. Kini, hanya ada Deni yang terdiam, dan Martin yang ikut terdiam.

“Terima kasih Martin, kamu menyelamatkan nyawaku” Ucap Deni dengan nada pelan.
“Maaf, bisa diulang, tadi kamu bilang apa?” Tanya Martin, seekor semut merah yang mencoba menggoda Deni, seekor semut hitam.
“Ya !Aku ucapkan terima kasih, karena kamu menyelamatkan nyawaku. Hampir saja aku mati ditangan manusia. Maafkan aku selama ini, yang telah mengejekmu tidak berguna. Ternyata, kamu punya senjata yang memang bisa dibanggakan. Pantas untuk ditakuti oleh manusia, terutama manusia yang tak bersahabat dengan kita, hewan kecil” Ucap Deni dengan muka tersipu malu.
****
Aku, ingin menjadi seperti semut merah.
Kecil, berani, dan punya hal yang dibanggakan.
**
Yogyakarta, Juni.
Gilang Rahmawati