Sabtu, 26 Mei 2012

Jejak Pria Malam


Selamat malam
Ku dengar sapamu,
sembari melangkah melewati pintu
Pria malam
Ini tepat sudah sewindu
Aku tak bisa mendekap tubuhmu
***

Malam ini, bersama hening
Ku lempar semua rindu dipelukmu
Akhirnya,
Kita beradu dalam hening
Sudah lebih seperempat jalan
Terdiam
Terhenti
***

Ku lihat pria malam
Ia diam
Dihisapnya dalam rokok sebatang
Peluh keringat sudah membanjiri
Pria malam
Rindu yang ku tabung sedari sewindu
Kenapa harus terhenti
Kenapa ?
***

Tak ada pergulatan lagi
Ya, kita berdua sibuk dalam imajinasi menatap layar televisi
Hingga kantukku lebih kuat menggoda
Dari keinginanku untuk bercinta
Baiklah..
Mungkin hanya dimimpi
Potongan peraduan tadi berlanjut
Ya, masih hanya sebuah ilusi di dalam mimpi
***

Pagi menjelang
Terlalu sunyi, hingga suara kumbang jelas bernyanyi
Pria malam
Haruskah pagi ini aku menyambutmu dengan matamu yang masih terlelap
Sebelum kau pergi
Ku pungut semua jejak tentangmu
Biar aku simpan, dan ku dekap jika ku rindu (lagi)
Satu
Dua
Tiga
Kau hilang dibalik pintu
Selamat pagi, sampai bertemu kembali
**

Yogyakarta, Ini Fiksi Hanya Ilusi, April.
Gilang Rahmawati

Surat Cinta Bertinta Merah



Teruntuk wanita yang telah menjerat hatiku. Jadikanlah ini sebagai salah satu kenangan dariku untukmu. Meski hanya sebuah kertas berisi tulisan, tapi tulisan ini mewakili isi hati. Rasanya baru kemarin, aku mulai belajar mengenalmu. Berbicara terbata. Tangan penuh keringat. Ya, itulah yang ku rasa saat mencoba bertanya “siapa namamu?”. Saat itu aku mencoba untuk menjadi gagah didepanmu. Hingga akhirnya, pipimu merah merona saat ku katakan aku cinta.

Dari setiap pertemuan, aku selip sebuah tulisan, teruntukmu. Dari setiap perdebatan, ku selip kata maaf untuk memperbaikinya. Aku tak pernah malu, meski itu kesalahan darimu. Aku terus mencoba menjadi pria gagah dimatamu. Kekuranganku aku jadikan kelebihan untuk memikat hatimu. Hingga kembali, ku temukan pipi merah merona. Ah, aku selalu suka saat itu.

            Dulu aku selalu yakin, kamulah tulang rusukku. Wanita yang kelak kan menemani dalam hidupku. Dalam setiap do’a, selalu ku selip namamu. Ini, ada sebuah bunga mawar yang telah mengering. Mawar ini juga salah satu kenangan untukmu. Dulu, aku ingin mengatakan cinta dengan mawar ini. Hanya saja, mawar menguning, ia tak terlihat indah lagi. Saat itu, aku masih terlalu takut untuk mengucap cinta.

            Ya, lihat, sudah banyak tumpukan kenangan yang kau berikan untukku. Kini, kenangan itu biar ku bawa tenang bersama amarahku. Maaf, kenangan itu terhenti tak dapat diteruskan kembali. Aku terlalu sakit, ketika tahu, tulang rusukku bukan kamu. Karena, “ijab Kabul” itu telah terucap lantang dari pria lain. Kini yang ku Tanya, bukan “siapa namamu?” karena aku sudah tau itu. Tapi, dalam benak ku bertanya “ siapa pria itu?”.

            Jangan pernah kau kubur kenangan aku dan kamu. Biarkan ia menari disetiap lamunan. Meski itu saat kau bercinta dengan pria yang tak ku tau namanya. Ah, sakit. Batinku mengerang, hatiku menyusut, tapi mata sama sekali tak tergoda untuk menangis. Aku tau, cukup mengenalmu sudah menjadi bahagiaku.

**
Yogyakarta, Merah itu amarah.